Saat
ini aku yang sedang merantau jauh dari keramain ibukota dan tinggal
selama beberapa hari di kesunyian kota kecil di Indonesia timur. Aku
sedang menikmati indahnya alam dan udara yang masih segar jadi
teringat lagu yang dulu sering di putar di TVRI sesaat sebelum
barakhirnya acara televisi.
“Tanah
airku tidak terlupakan kan terkenang sepanjang hidupku walaupun saya
pergi jauh tidak kan hilang dari kalbu, tanah air ku yang kucintai
engkau ku hargai...” kira-kira seperti itulah syairnya.
Saat
ini pikiranku benar – benar bersih dari segala macam keduniawian
yang biasa aku dengarkan dari gurauan - gurauan teman sekantor
ataupun tetangga dimana para pemimpin negara selalu jadi objek yang
ejekan. Bagaiman tidak karena merekalah negara kita tidak bisa
berkembang dengan sebagaiman mestinya, para koruptor dengan santai
menggunakan uang yang seharusnya bisa dimanfaatkan untuk keperluan
rakyat malah jadi rebutan untuk kepentingan pribadi. Dan yang lebih
menyedihkan mereka yang sudah terbuki bersalah perlihatkan mimik muka
tanpa penyesalan sambil tersenyum dengan santai masuk ke mobil untuk
dipindahkan dari ruang sidang ke rumah tahanan sambil melambaikan
tangan.
Tetapi
saat ini dimana aku bisa bersandar di bawah pohon kelapa sambil
menikmati sejuknya angin laut yang bebas polusi, kulihat indahnya air
laut yang biru bersih tanpa sampah dan indahnya pasir putih yang
halus membentang sejauh mata memandang membuatku sangat mencintai
tanah airku.
Para
penduduk yang berjualan disini juga berhati bersih, mereka tidak
memanfaatkan pengunjung luar pulau seperti aku dengan menjual barang
dagangannya dengan harga yang lebih tinggi. Sayangnya pantai yang
indah ini sepi pengunjung mungkin karna penduduk lokal sudah bosan
dan mereka lebih suka jalan-jalan di mall, tapi bagiku inilah
kenikmatan sejati dimana kanan kiri adalah sesuatu yang alami.
Sambil
sesekali menyeruput kelapa muda yang aku beli aku hirup udara dalam –
dalam mengharap udara yang aku hirup nantinya akan bisa aku bawa
pulang ke tempat asalku. Beberapa menit melamun aku lihat seorang
nelayan turun dari perhunya dan membawa dua ekor lobster ukuran
lumayan besar dan beberapa ekor ikan tuna, dia berlarian kecil
menghampiriku dan menawarkan bawaannya. Kala itu dia mematok harga
seratus ribu rupiah untuk 2 ekor lobsternya, tanpa pikir panjang aku
pun membelinya karna harga sangat murah menurutku kalau di Jakarta
aku membeli per ekor dengan harga dua ratus ribu rupiah.
Gak
beberapa lama datanglah penjual kelapa muda untuk menawarkan dengan
gratis bakar lobsternya di tempat aku duduk duduk santai, yup masih
tetap di bawah pohon kelapa. Hmm... Kesenanganku makin bertambah.
Cara membakarnya unik lobster di cuci lalu dipotong menjadi dua dan
dimasukan ke dalam kulit kers kelapa dan dibakar dengan kulit kelapa
yang sudah kering tanpa di kasih bumbu. Dan setelah matang aku cicipi
lobster yang masih panas “hhmmmm...” gak sangka rasanya jauh
lebih enak dari yang pernah aku makan sebelumnya.
Matahari
perlahan terbenam dan saatnya aku kembali ke penginapan.
Begitulah
ceritaku bagaimana ceritamu...?
BAHAGIAKAN ORANG
Baru
beberapa langkah beranjak dari loket keluar pantai kakiku tiba-tiba
berhenti, sejenak kupandang seorang balita menangis dengan keras di
pangkuan seorang ibu di depan rumah sederhananya yang beratap daun
pinang dan berlantai tanah. Hatiku tergerak untuk mengetahui apa
gerangan yang terjadi, dan langkah kakiku dengan sigap melangkah
untuk menghampiri. “Aku tanya kenapa dedeknya nangis...?” dengan
meneteskan air mata sang ibu menjawab “udah dua hari ini demam dan
tak kunjung berhenti”.
Tanpa
basa basi aku ajak mereka naik mobilku dan aku antar ke rumah sakit,
di perjalanan terdengar tangisan lirih seorang ibu aku gak tahu itu
dikarenakan apa dan aku gak berani bertanya takut kalau malah
menyakiti hatinya. Sesampai di rumah sakit dokter jaga UGD dengan
sigap meraih balita yang masih di gendong ibunya untuk diperiksa,
ternyata si balita udah demam tinggi hampir 40 derajat celcius.
Dengan
sigap balita tersebut di telanjangi dan tidurkan di lantai lalu di
siram dengan alkohol, tidak tega memang melihatnya tapi kata dokter
itu jalan tercepat sebelum nantinya dia step. Sambil menunggu hasil
periksa dokter aku bertanya dengan ibunya “bu... nama adeknya siapa
ya?”, dengan senyum ikhlas ibunya menjawab “oh iya... nama anak
saya Sitorus dan saya sendiri namanya ibu Deby” dan aku mengenalkan
diri “nama saya Nadine...bu”.
Ibu
Deby berterima kasih sampai beberapa kali karna sudah dua hari ini
anaknya demam tapi gak berani bawa ke dokter karna gak ada uang untuk
berobat.
Selang
beberapa lama dokter memberitahu kalau Sitorus demam karna asupan
makan dan gizinya kurang dan dokter memberi resep untuk tebus obat di
apotik. Setelah tebus obat mereka aku ajak mereka makan di restoran,
aku lihat Sitorus makannya sangat lahap dan ibu Deby tersenyum penuh
kasih padaku. Sambil makan ibu Deby cerita kalau suaminya seorang
nelayan dan penghasilannya sangat kurang dua bulan ini di karenakan
cuaca yang kurang bersahabat dan harga jual ikan hasil tangkapannya
di hargai murah oleh tengkulak jadinya kita makan dengan apa adanya
dan di cukup-cukupkan.
Aku
menawarkan pekerjaan ke ibu Deby kalau mau menempati rumahku yang
kosong untuk dirawatnya, tanpa pikir panjang ibu Deby mengiyakan dan
terlihat gembira. Karna udah malam aku antarkan mereka pulang dan di
dalam rumah ada bapak nelayan yang tadi siang aku beli lobsternya,
ibu Deby menceritakan kejadian siang tadi dan bapak Jefta istri ibu
Deby berulang ulang mengucapkan terima kasih padaku dan nanti kalau
dia dapat lobster lagi mau di kasih ke aku gratis janjinya.
Setelah
tinggal beberapa lama di rumahku aku jenguk mereka dan wow... betapa
kagetnya aku rumah yang sebelumnya berantakan dan kotor kini jadi
bersih dan hijau karna di tanami beberapa pohon. Mereka lebih gemuk
dari sebelumnya, dan sitorus terlihat sehat lincah dan lebih gemuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Budayakan Komentar yang Bermutu